Sabtu, 10 Juli 2010

-Sajak-Sajak Ridwan Mahadi -

Cekung Matamu Tempatku Berpulang

kupahat berkali-kali biar cekung matamu
membentuk muara memar yang paham akan ketiadaanku
meski reruntuhan wajahmu menjelma ratusan camar
yang tak ingin pulang ke carang. seperti sujud malam
menggelepar sebelum rebah di pembaringan.

sementara biarlah katup bibirmu merahasiakan
bahasa tubuh yang kaku: menutup segala penjuru
pintu kepulanganku padamu.


kegelisahanmu itu kusamakan dengan gugur hujan
yang mengutuk tanah perjalanan menjadi basah dan masam
sebagaimana sepasang kaki gemetar kedinginan
merindukan ranjang dan kecupanmu yang garang.

sungguh, aku telah terlampau jauh, Sayang.
tak lagi pulang ke carang yang dinantikan
sebab cekung matamu adalah reruntuhan malam
menyerupai makam tempatku berpulang.

-----------------------------------------------------------------------------------
Kedapan Rindu

di lengkung langit kerap kautuliskan bahasa
sepimu serupa pucat bibir yang dikulum hujan
musiman. dan aku selalu terbenam di kedap
dadamu yang paling sunyi. yang kausembunyikan
semacam perasaan yang teramat asing; tentang
kejatuhan bintang di kejora matamu yang beralis
legam atau padang rembulan yang diterangi
kunang-kunang semalaman.

aih, aku memang tak paham bahasa puisi
yang bagaimana supaya jantungmu gigil
di sulur rindu yang teramat perdu. padahal
bahasa sepimu telah menjelma sepasang sayap
kupu-kupu di lekuk hatimu yang paling riuh.

ah, antara bahasa sepimu dan bahasa puisiku
selalu rindu yang terjemahkan itu.



--------------------------------------------------------------------------------

Ka&ta

barangkali ka ta yang berjarak ini
pertanda hati kita tak dapat dirangkai satu

---------------------------------------------------------------------------------

Hujan yang Memelukmu


di gigil hujan itu, akulah rerintik yang paling haru.
bahkan di genang matamu, kurendam kebahagiaan
yang tak padam. meski nyala matamu adalah
kobaran api yang membakar dinginku.


ou, jangan kaurahasiakan lagi kegelisahanmu
bahwasanya aku tahu ada rerindu yang kemarau
menginginkan aku membasahinya.

jatuh, jatuhkan aku di tetes sepimu itu!
biar gemetar hujan segera
mengetuk dadamu.


ou, akulah rerintik yang paling biru di rindumu.
kan kubakar kerinduan yang tak berapi,
agar nyala matamu tak menghanguskan
gigil hujanku.


jatuh, jatuhkan aku lebih dekap
di peluk dadamu, di lekuk
hati yang paling
aku!


---------------------------------------------------------------------------------


Kota-ku

Kotakota berdebu
kota bapakku, kota tersuci
sebab darahnya bersimbah di situ.

Kotakota berdebu
kota ibuku, kota termahal
sebab nyawanya terjual di situ.

Kotakota berdebu
kota kesunyian, kota teryatim lagi berpiatu.

----------------------------------------------------------------------------------

Ruang Tunggu

Perempuan, celakalah aku
saban waktu menunggumu di lekuk jam
yang berdentang ngilu. sebab tiap detak itu
selalu mengabarkan berita kematian pada kedap
dadaku yang kaulubangi dengan kesenyapan.

sajakku kini terburai, Perempuan
serupa harapan yang kugenggam lalu kauhamburkan
pada kata-kata yang bikin hatiku demam

tersebab itu ruang tunggu tak nyaman bagiku
berucap lelarik rindu yang gagap dikutuk waktu

maka, Perempuan !
aku ingin menunggu di lain kesempatan
yang hanya ada aku dan kamu.



-------------------------------------------------------------------------------------

Kepada Risau


di degup sepiku, ada genta rindu yang gemanya
sanggup memekakkan dada, serta mendebarkan apa saja,
pada kelengangan hati ini.

di degupku ini, betapa sungguh kekosonganlah
yang nyata menyita waktuku!


Agh, ingin rasanya
kubanting kenangan yang tak jelas itu!

biar jadi pecahan-pecahan rindu
yang tak lagi menghantuiku.


---------------------------------------------------------------------------------

BISU

/1/
sekian detik jarum waktu mendetak,
selalu senyap degup jantungmu mendebar
sedang bisumu adalah birunya bahasa kalbu
serupa kata-kata yang sanggup meredam badai
selalu bungkam diletupi gemuruh

/2/
maha bahasa kalbumu,
tereja segala tulus yang tak sempat dikatakan Adam
saat kehilangan rusuknya, terbentuk wujud Hawa

/3/
maha bahasa bisumu,
sanggup menerka berjuta juntaian kata-kata
di antara bait-bait yang terjamah oleh lidah tanpa suara

----------------------------------------------------------------------------------

BELING BELING USIA

begitulah aku, cerminku rengkah
belah-pecahnya meremuk ke muka
sedang sisanya melukai jiwa hingga menganga
di akhir beling-beling usia.


---------------------------------------------------------------------------------

EPISODE DINGIN

Tangan inikah yang sanggup menadah
hujan pinta dengan basah percuma?
sama halnya berlama-lama mendekap angin
kemudian bibirku mengembun
menyekap katakata yang lenyap terucap

Barangkali hujan terlalu meruncing
menusuk dingin
atau langit pecah karena rintiknya
menggugurkan hening berjelaga.


---------------------------------------------------------------------------------

GALAU

Bulan telah sejengkal di kepala
beribu-ribu bintang tergenggam
cuma apa yang kurasakan,
temaram yang mendalam.

Sedang di hadapanku penuh retak-retak
kaca yang rengkah
di depanku busur-busur panah
telah siap membidik nyawa.


--------------------------------------------------------------------------------

HASRAT

Seandainya kau sisakan ruang harap
ingin kudekap kau lebih dekat
hingga jarum waktu berkarat berhenti berdetak.

---------------------------------------------------------------------------------

KANGKANG

Nurani keluh di dinding kamarku
di muka-pintu separuh wajahmu
terkangkang lebar di mataku.

---------------------------------------------------------------------------------


MENGUSIK RINDU

Mengusik rindu,
terhitung sejak kau melupakan itu
di sela waktu sendiri, kumengingat
yang pernah terajut, cinta itu!

Ya... kau kuingat!
waktu itu mentari condong
rebah di paras langit
pada senja itu, kauhujani aku dengan kecupan
hingga bibirku basah lumat

ya...ya... kuingat!
ketika itu waktumu singkat
kau pergi mengaburkan yang terkenang
tapi kecupmu masih hangat
masih merekat di bibirku yang pucat !

----------------------------------------------------------------------------------

TENGKORANG ZAMAN




Saat hidup memberi keluasan jalan

Aku memilih pergi, berjalan tanpa pulang

Karena langkahku selalu angkuh mengatakan:

"Aku ingin hidup menjadi tengkorak zaman"

---------------------------------------------------------------------------------

DI KAMARKU

Di kamarku:
bulan sedang terlelap, kuletakkan ia di keranjang mimpi
lalu kuelus-elus selembut salju yang membeku pada dinding hatiku.

---------------------------------------------------------------------------------

BERCAK KEMATIAN SAJAK


Bercak kematian sajakku terbungkus rapi
Dalam kafan keangkuhan
Mengecup pedih dari rangkaian aroma kata
Yang tak sedap terucap
Saat lidahmu menjulurkan serapah
Dan terpujilah jiwa terhunus sesak

Sedang kau masih mengulum karatan makna
Yang belum sempat tereja!

--------------------------------------------------------------------------------

SEGENAP KETULUSAN



saat aku menuliskan namamu
penaku tak sudi meneteskan tintanya
sepertinya tiada maaf bagimu
telah mencorat-coretkan hitam-putih hatiku

tapi pada selembar hatiku yang telah robek
aku berusaha merekatkannya kembali
dengan keutuhan rasa
yang tak bisa diperjual-belikan,
seperti harga mati untuk mencintaimu
dengan segenap ketulusan.

-------------------------------------------------------------------------------

Permintaan

Temanilah aku
sampai esok hari, esoknya nanti
hingga berada di pemakam sunyi
yang cuma ada kita & kekelalan cinta
yang tak pernah mati!

--------------------------------------------------------------------------------

Detik-detik Perayaan kepulanganmu

Ternyata luruh hujan yang merintik-rintik semalam
masih menyisakan karatan dari tikaman-tikaman
yang terhujam pada tubuhmu yang dangkal,
ngalir serupa danau yang kau buat berabad silam
yang kelak menenggelamkanmu secara perlahan,
diam dan baka.

--------------------------------------------------------------------------------

Penundaan

: Ibuku
Wajahmu datang pelan
Semburat dari kereta-kereta plastik-
mainan yang kau belikan bertahun silam.
Wajahmu hilang pelan
Berseragam serupa kafan.

--------------------------------------------------------------------------------

Do'a Bugil

Bulan yang bugil dan kedinginan,
tahukah engkau, betapa badan tak punya pilihan
selain menyekutu pada trotoar jalan
yang saban malam memimpikan
punya rumah di pekuburan.

Sebab di pembaringan,
kardus adalah hamparan tilam yang tak nyaman
dan bising kendaraan mengaung
serupa jerit ranjang yang bikin meriang dan patah tulang.

Bulan yang bugil dan kedinginan,
belikan kami telpon genggam, menghubungi Tuhan
bikin perjanjian, bahwa hidup bukan untuk tuan-tuan
yang berseragam safari di gedung dewan perwakilan.

Sebab rancangan undang-undang yang kesekian
nama kami tak disebutkan sebagai anak-
negara yang Satu Tumpah Airmata Darah-an

Bulan yang bugil, do'a kami yang bugil,
kita sama-sama gigil saat rumah impian
serupa kuburan tempat tersimpan kerangka
tulang-belulang harapan.

--------------------------------------------------------------------------------

Cermin

Di depan cermin,
Ada bayang yang tanggal
Menjelma ratusan malaikat;
berbisik,
berceloteh
mereka bilang:
hidup itu indah

Munafik!
Bosan mencekik!

Di depan cermin,
Ada bayang yang goyang pada bingkai itu;
Aku.

---------------------------------------------------------------------------------

Senja di Matamu

:Ibuku

Di matamu ada kesunyian asing yang begitu rapi
kau sembuyikan. ciptakan sebentuk rekayasa ganjil
dari permainan yang kau perankan tanpa sepengatahuanku:
tentang senja yang kau nyalakan di setiap lekuk tatapanmu.
dan di setiap kobarannya membakar lembaran-lembaran
kejadian di episode lalu.

(tapi sebelum kaubakar, aku menghafal lembaran itu,
lembaran yang kaurangkai dengan ketulusanmu)

Di matamu ada keramaian, geletar isyarat hening
yang bergemuruh dengan lengkingan suara waktu,
suara yang pernah menyerukan sebuah nama
saat rahimmu melahirkan episode baru.

Dimana sebuah awal permulaan itu telah ciptakan
perpisahan yang baru saja dirayakan dengan isakan-pertamaku
yang mengantarmu pulang menemui senja lain,
senja yang bukan lagi berasal dari matamu-
yang telah tertutup rapat itu.

Ibu, kubaca ruas-ruas tubuhmu yang tergeletak kaku
Kutemukan sepotong bahasa kasih yang begitu lembut
seperti kelembutan bahasa Tuhan yang telah memanggilmu.


----------------------------------------------------------------------------------

Malam yang Bertubuh Bulan


Malam yang bertubuh bulan,
selalu birahiku meresap
pada nyalamu yang temaram

Malam yang bertubuh bulan,
ada isyarat kecil yang sedemikian rumit
yang harus kaupecahkan
dari tumpukan batu di jalanan
seperti seonggok jejak
yang sekedar dibacakan samar-samar
oleh reranting kering yang melapuk

Lalu temukan pula sepasang kaki
yang lupa menuju jalan pulang
sebab ia tak paham,
betapa rumahnya selalu merindukan
suara jerit ranjang itu terulang.

sebagaimana lengkingan kegelisahan itu
selalu dirahasiakan kakinya;
menghafal jarak, menghitung jejak,
membaca langkah-langkah yang tak teralamatkan
sebab ia tak paham,
bagaimana caranya membunuh kesendirian
sedang waktu terus mendetak, siang.


Malam yang bertubuh bulan,
selalu ada aku yang memintamu menerang,
menuju jalan pulang!

*16 Mei 2010


------------------------------------------------------------------------------------

Yang Tenggelam & Menikam


Aku mengajakmu berlabuh
menumpas badai, memecah karang
meski dibantai ombak
yang tenggelam & menikam!

Teruslah berlayar, teruslah!
sampai sungai yang mengalir dari matamu
menjadi luapan laut yang tak pasang surut.

Melepaslah...
yang terlepas & yang tergenggam
kelak merapat tepi,
tak akan ada yang dikenang di kemudian.

Teruslah berlayar, teruslah!
sampai sungai yang mengalir dari matamu
mengering, tak berarti.

ptk, 20 Mei 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

DO'A


Aku menatapMu
pada lembaran sajaddah terhampar
pada tangan yang selalu melempar doa
dengan tengadah
dan kusebut namaMu
yang terpelihara dalam sujud
menemu ma'rifat,
menuju Rumah-Mu

Tuhan,
rabailah jiwaku yang lepas dari tangkai
gugur saat malam mengembus nafas
aku melepas penuh
maka sentuhlah aku, ada doa-doa gersang
yang kekal menyebutMu.

Ptk, 12 Mei 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

HUJAN

aku sering menemukanmu
selepas angin melesapkan rindu
kepada awan yang merahasiakan sepinya

aku sering pula
menadahkan kedua tanganku
pada tetesan pertamamu sebelum menjejak tanah

oh...hujan!
dengan rintikmu, sanggupkah kau terjemahkan
patahan-patahan sunyi di reranting waktu
sedang yang kuketahui, selembar daun yang gugur
tak akan sanggup menjelmakan dirinya
menjadi sepasang kupu-kupu

oh...hujan!
dengan rintikmu, sanggupkah kauteteskan
pada kepingan-kepingan mimpiku
agar tak lekas gersang?

atau inikah tetesan terakhirmu
yang sekedar ingin menertawakanku
kuyup, mati kedinginan.

Ptk, 09 Mei 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

Lewat Percakapan Angin

lewat percakapan angin,
kuterjemahkan sunyimu yang menderu dingin
diantara pecahan-pecahan sunyi
yang kian kusyuk mengusik

lewat percakapan angin,
'kan kaudengarkan baitbait bising
seperti sergapan sepi di malam hari:

lekas kemari!
mari menemui malam
biar besok matahari jadi piatu.

Ptk, 06 Mei 2010

------------------------------------------------------------------------------------

Tentang Puisi Yang tak Pernah Kelar Kutulis


Pada suatu ketika yang lama sekali
Setelah kita berpura-pura melenyapkan
Tentang rasa yang purba
Yang pernah kita rasakan sebelumnya

Sedang aku selalu saja tak paham
Dengan larik puisiku sendiri
Tentunya tiap-bait bait gerimis itu
Selalu menjadi hujan doa di setiap rintiknya

Ah...Najwa, sajak ini kuperoleh
Dari hembusan angin yang telat menyampaikannya
Lalu kurangkum menjadi bait-bait rindu
Yang tak pernah kelar kutulis
Selalu saja kusimpan rapi di lembar batin
Sebelum kau tahu cinta itu ada, untukmu!

Ptk, 04 Mei 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

Kuceritakan Pada Sabtu Pagi

sabtu pagi,
kukecup wangi bumi
menyusup celah dedaunan
pada kelopaknya aku berbunga

sabtu pagi,
aku terbiasa mengembun
kemudian menguap saat matahari merangkak tinggi

esok pagi,
masih adakah aku di sini
mengental jadi penghuni pagi
atau tertimbun bumi?

Ptk, 22 Januari 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

Tanpa Batas Waktu

Biarkan aku memperkosa jarak
agar kau lebih dekap denganku
ada berjuta alasan untuk menjeratmu
agar kau seinchi lagi bersamaku.

Barangkali aku perlu menuang bergelas rindu
lepaskan dahaga yang sesat dalam jejak.

Aku tak ingin berlama-lama bekukan
rasa yang membatu, mau ku segera mengetukmu
maka bukakanlah pintu yang biasa kuketuk
lekaslah! kau kubawakan oleh-oleh
sekuntum cumbu biru di keningmu.

Lihatlah mentari yang gemetar menyala
cahayanya pecah sebelum menjejak tanah
seperti langkahku yang ingin selalu erat
mendekapmu tanpa batas waktu.

Ptk, 20 Januari 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

Melukis Pelangi Dari Mata Seorang Hawa

Kugaris-garis langit
menjadi petak-petak yang retak
lalu kaubiaskan cahaya yang berpendar di matamu
mata yang selalu membiaskan pelangi
pada kanvas hidupku!

Kemudian kutegak berdiri di lekukan pelangi itu
kutadah setiap rintik-rintik hujan yang tumpah
dari airmatamu yang kekal meneteskan doa.

Dan dari retak-retak langit jua
aku ingin melukis,
melukiskan tangan seorang hawa
yang selalu memberi dan menerima
dengan tulus apa adanya!

Ptk, 12 Januari 2010

-------------------------------------------------------------------------------------

Irma & Setumpuk Rindu

Irma,
bolehkah aku membongkar kembali
seonggok resah di dadamu
atau aku lebih tak perduli
menundukan kepala lalu pergi?

tentang mimpi yang kujerat semalam
bungkus saja dalam karung batin
yang berisi debu dan mimpi membaur satu

kau percaya?
tengok pada bara yang menyulut api kita,
api cinta Irma!
di sini kita meredup, juga membakar

kau tahu?
setumpuk rindu ini tak sedap dikecap,
sedang nyawa hampir punah
menanah dalam do'a.

Ptk, 20 Desember 2009

-------------------------------------------------------------------------------------
||Kumpulan puisi- puisi Ridwan Mahadi||
dilarang keras Plagiat/menjiplak hasil karya
dalam blog/website ini.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.

-------------------------------------------------------------------------------------



3 komentar: